5/25/2013


Hasnan Singodimayan

Lahir : Banyuwangi, Jawa Timur, 17 Oktober 1931
Istri : Sayu Masunah

Anak :
- Buyung Pramunsyie
- Bujang Pratiko
- Bonang Prasunan
- Rundung Prahara
- Capung Prihatini


Penghargaan di antaranya :
- Penghargaan Gubernur Jawa Timur bidang Budaya, 2003
- Pemenang III Penulisan Cerpen Dewan Kesenian Surabaya, 1973
- Pemenang II Penulisan Puisi BBC london, 1980


Keriput kulit di pipinya tergurat jelas. Rambutnya berwarna perak. Sebagian giginya sudah tanggal. Tetapi pandangan matanya masih tajam. Ia bisa membaca SMS dari telepon selulernya yang butut. Semangatnya berbagi imu kepada siapa pun tidak kendur, baik secara lisan maupun tulisan, apaagi menyangkut budaya masyarakat Using.

Untuk transfer ilmu melalui tulisan, Hasnan Singodimayan sedang merampungkan buku berjudul Suluk Muktazilah. Buku ini berisi renungannya bagaimana membangun Islam Indonesia dengan berakar pada Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), dua organisasi mainstream di Indonesia.
"Mudah-mudahan dalam waktu tak lama lagi buku itu bisa terbit," katanya saat ditemui di rumahnya di belakang Masjid agung Banyuwangi, Jawa Timur (Jatim).

Hasnan Singodimayan
Transfer pengetahuannya secara lisan menjadi kehidupannya sehari-hari. Ia bisa diajak berdiskusi berjam-jam. Hampir selalu ada orang datang, mulai dari mahasisa, dosen, seniman, hingga peneliti untuk menimba ilmu, terutama masalah sosial-budaya masyarakat Using.
Budaya Using adalah subkultur masyarakat jatim sebagaimana subkultur Arek, Pendalungan, Mataraman, Tengger, dan Madura. Masyarakat Using adalah mayoritas penduduk daerah semenanjung timur Jatim, Kabupaten Banyuwangi.

Dia juga mendirikan Hasnan Singodimayan Centre, lembaga non proft yang bergerak di bidang penelitian, pengkajian, dan pengembangan sosial-budaya Using Banyuwangi. Misalnya, mengadakan Bintang Pelajar Pencinta Sastra (BPPS) yang diikuti sastrawan muda. Ini sebagai cara menjaga kesinambungan dinamika budaya Using dari generasi ke generasi.

Praktis tokoh tua yang menjadi referensi hidup soal budaya Using tinggal Hasnan, setelah Hasan Ali, ayah aktris Emilia Contessa, meninggal dunia. Kedua tokoh ini bisa dibilag seperti sepasang sandal, termasuk saat memimpin Dewan Kesenian Blambangan, mulai sekitar 1980.

Hasnan layak dianggap "sumur tanpa dasar" untuk masalah sosial-budaya Using. Sedikitnya tujuh buku dia tulis berkaitan dengan sosial-budaya Using. Misalnya novel Kerudung Santet Gandrung, yang ditulisnya pada 2003. Ada pula ratusan makalah, esai, cerita pendek (cerpen, dan cerita bersambung (cerbung) yang dia tulis sejak 1950-an sampai kini.

Cerbung Kerudung Baju Selubung yang dia tulis di koran Bali Post diangkat sebagai naskah sinetron di TPI dengan judul Jejak Sinden tahun 1994. Dia menjadi salah satu aktor di sinetron itu. Di antara makalahnya yang dibukukan adalah Posisi Budaya Using dalam Aneka Kebudayaan Jawa Timur yang diterbitkan PT Tiara Wacana Yogyakarta untuk Yayasan Muhammad Hatta.

Dia mulai menulis selepas dari Pondok Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo. tahun 1960-an, ia bergabung dengan koran Terompet Masyarakat, Surabaya. lantaran bergabung dengan manifesto Kebudayaan (Manikebu), dia dipecat karena koran itu erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Meski begitu, dia tak berhenti menulis. Karyanya berupa esai, dan cerbung dia kirim ke pelbagai majalah dan koran. Cerpennya Lailtul Qadr menjadi juara tiga cerpen Dewan Kesenian Surabaya, 1973. Puisinya menjadi juara II peulisan puisi Radio BBC London, 1980. Ia juga juara tiga penulisan kisah kepahlawanan kemerdekaan dari Dewan Angkatan 45 Pusat lewat Perempuan Itu Bingkai Pesawat.

Karya-karya tersebut dia simpan di rumahnya. "dulu saya taruh di ruangan tamu, tapi kok tak aman, juga bisa membuat saya pamer. Dan, pamer itu bisa jadi sombong. Sikap itu harus saya hindari karena sangat dibenci Allat SWT. Hanya Allah yang berhak menyandang al-mutakabbir ( pemilik segala kebesaran). Sekarang saya simpan di ruang keluarga," katanya.

Transformasi budaya

Ia pernah diajak sekelompok masyarakat dan budayawan banyuwangi menggugat secara hukum novelis Putu Praba Darana, sebab buku yang ditulis Putu, Trilogi Blambangan yang terdiri dari Tanah Semenanjung, Gema di Ufuk Timur, dan Banyuwangi, yang menjadi cerbung di Kompas lalu diterbitkan PT Gramdedia, dinilai melecehkan budaya Using.

Ia juga diajak menggugat secara hukum dan mendemo Heru Setya Puji Saputra karena bukunya, Memuja Mantra Sabuk Mangir dan Jaran Goyang Masyarakat Using Banyuwangi terbitan LkiS, Yogyakarta, 2007 dinilai menyimpang dan menghina masyarakat Using.

"Saya tidak mau menuruti ajakan mereka. Kalau tulisan Putu dan Heru dianggap salah atau menyimpang, cara meluruskan juga harus dengan tulisan. Buatlah novel yang lebih baik dan benar. Dengan demikian nanti akan terjadi diskursus di masyarakat. Mendorong iklim dialog yang brilian, egalitarian, jernih, tanpa prasangka.Cara demikian , membuat kebudayaan dinamis dan berkembang. Menggugat secar hukum dan demo itu bukan cara bijaksana," katanya.

Menurut dia, keterbukaan, dialogial, adalah akar budaya Using. Masyarakat Using tak menutup diri. Budaya yang masuk akan diserap lalu dipadukan dengan budaya asli hingga seeringkali melahirkan format budaya baru. Di sini ada transformasi budaya.

Dia mencontohkan, masuknya tari jangger bali yang "kawin" dengan tarian Using, melahirkan tari gandrung. "Coba lihat, apa tari gandrung sama dengan tari jangger? Kan tidak, tetapi ada nuansa jangger," katanya.
Masyarakat Using terbuka menyerap budaya bahasa Mataraman. Tetapi tak serta merta mengganti dengan bahasa Mataraman walau di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram. Menyerap bahasa Mataraman justru menunjukkan martabat masyarakat Using.

Misalnya, kata "isun"untuk "aku". Dalam bahasa Mataraman, "isun" menunjukkan derajat tertinggi, yang bisa menggunakan "isun" hanya raja. Tetapi dalam budaya Using, "isun" untuk semua. Ini menunjukkan egalitarianisme masyarakat Using sekaligus egoisme.

Sebaiknya untuk kata "kamu", masyarakat Using menggunakan "sira". Istilah "sira" dalam bahasa Mataraman menunjukkan posisi paling rendah di bawah "panjenengan" atau "paduka".
Makanan pun kalau masuk Banyuwangi mengalami transformasi. Di sini ada rujak-soto, rawon-pecel. Kan, rawon itu dari Surabaya, pecel dari Madiun, ketemu di sini jadi rawon-pecel yang nikmat. Semua itu menunjukkan keterbukaan budaya Using," ujarnya.

Dia meyakini, dengan nilai-nilai keterbukaan, egalitarian, watak dialogial, akan menjadi landasan budaya Using lestari dan berkembang sesuai generasi dan zamannya. Paradigma transformasinya adalah al-muhafadhah ala qodimis shalih wal ahdu bil jadidil ashlah (mempertahankan hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik) .

Paradigma yang dia serap dari Pondok Darussalam Gontor. "Ada atau tak ada saya, budaya Using tetap lestari dan berkembang. Saya hanya bagian secuil dari budaya Using," kata kakek enam cucu itu.

Kompas, Jumat 29 Juli 2011
sumber foto : http://blog.indonesiabercerita.org/beritaidcerita/kelas-pencerita-banyuwangi/

0 comments:

Posting Komentar