8/23/2013

Ahli Kopi Iwan Subekti
Jika Anda penikmat kopi, sempatkan berkunjung ke Sanggar Genjah Arum di Banyuwangi, Jatim, milik Setiawan Subekti. Di sana, Anda akan disuguhi kopi sekaligus diajari cara memperlakukan kopi oleh Setiawan, tester kopi yang namanya sudah mendunia. 

Lamat-lamat suara angklung menyapa telinga. Iramanya terdengar makin nyaring ketika mendekati pelataran Sanggar Genjah Arum milik Setiawan Subekti di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jatim. Ternyata, suara angklung itu bersumber dari sepasang angklung. Angklung lanang (lelaki) dan angklung wadon (perempuan) yang dimainkan penabuh di puncak paglak. 

Paglak adalah gubuk (bangunan sederhana) tanpa dinding yang terbuat dari bambu. Gubuk beratap ijuk atau anyaman daun kelapa itu biasanya didirikan di tengah sawah atau dekat perkampungan. Ukuran paglak umumnya hanya 2 x 3 meter. Meski begitu, paglak tidak makan banyak tempat. Sebab, lantainya tidak menyentuh tanah, melainkan menjulang tinggi sekitar 15 meter yang ditopang empat bambu utuh sebagai kaki penyangga. 

Dulu, paglak berfungsi sebagai tempat untuk mengusir burung-burung yang hendak makan padi. Para petani Using (sebutan untuk penduduk asli Banyuwangi) menjaga tanaman padinya yang mulai menguning dari serangan gerombolan burung sambil memainkan angklung. Karena dimainkan di atas paglak, jenis angklung itu dinamakan angklung paglak. 

Paglak pun mengalami transformasi dari yang dulu didirikan di sawah untuk mengusir burung berubah menjadi aksesori budaya di halaman rumah atau perkantoran. Paglak di Sanggar Genjah Arum milik Setiawan Subekti itu berdiri di balik pintu gerbang barat. Tingginya sekitar 15 meter. 

Suara angklung paglak terus mengalun. Suaranya makin ritmis setelah ditimpali bunyi tetabuhan dari lesung (alat tradisional untuk menumbuk padi). Tepatnya dari lima lesung yang berjajar di samping gerbang timur. Sekelompok nenek dengan balutan pakaian khas Using dengan lincah memainkan alu (penumbuk padi) di tangannya.

Meski usianya terbilang sudah uzur, mereka tampak bersemangat memainkan instrumentalia beberapa lagu Banyuwangen sambil sesekali membetulkan posisi susur (campuran tembakau, buah pinang, dan kapur) yang bertengger di mulutnya. 

Begitulah cara Iwan (panggilan akrab Setiawan Subekti) menyambut para tamunya. "Ini merupakan salah satu cara untuk ikut nguri-nguri warisan budaya Using," kata Iwan yang sudah berkeliling ke berbagai negara untuk menjadi juri kontes dan festival kopi dunia itu. 

Dia menyatakan prihatin terhadap heritage Using yang mulai ditinggalkan warganya. Meski matanya sipit dan kulitnya kuning, Iwan dinilai lebih Using daripada orang Using. Selain angklung paglak dan musik lesung, Iwan melestarikan kelompok mocoan lontar Yusuf, yakni membaca lontar kuno yang mengisahkan epos Nabi Yusuf secara bergiliran. 

Alunan musik lesung terus mengalun mengiringi para tamu menyeruput secangkir kopi yang diseduh sendiri oleh Iwan. Kopi yang disuguhkan itu sangat spesial. Sebab, disangrai dan diblender sendiri oleh Iwan. Tak ayal, semua tamu merasa sangat senang punya kesempatan menikmati suguhan kopi di sanggar Genjah Arum yang terdiri atas beberapa rumah joglo asli Using. 

"Kita tidak akan bisa menemukan kopi dengan taste seperti di sini di tempat lain, di kedai-kedai kopi ternama di dunia sekalipun," tutur Ir Cahya Ismayadi dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslit Kakao) Indonesia, kepada Jawa Pos pada Sabtu lalu (10/12). Hari itu, Cahya menjadi juri dalam Festival Sangrai Kopi Massal di Sanggar Genjah Arum Kemiren bersama Iwan dan juri kehormatan yang terdiri atas para muspida Banyuwangi.

Salah satu faktor yang memengaruhi taste kopi, papar Cahya, adalah memang proses pembuatannya. Kopi Iwan terasa nikmat karena diproses oleh master kopi. Iwan saat ini memang tercatat sebagai salah seorang tester kopi kelas dunia yang dimiliki Indonesia. Konon, Indonesia baru memiliki lima tester kopi kelas dunia. Nama Iwan pun cukup populer dalam percaturan kopi dunia. 

Pria kelahiran 1957 itu setiap tahun sibuk menjadi juri kontes kopi di berbagai negara. Mulai Brazil, Kolombia, Amerika Serikat, dan sejumlah negara Asia seperti Jepang, Vietnam, Malaysia, serta Singapura. 

Namun, nama besar itu tidak mengubah watak asli Iwan. Sarjana Pertanian Universitas Satya Wacana tersebut tetap membuka pintu selebar-lebarnya bagi mereka yang ingin berkunjung ke sanggar miliknya. Kepada para tamu, selain menyuguhkan kopi yang diseduh sendiri, jika waktunya memungkinkan, Iwan mengajarkan tata cara memproses kopi yang benar. 

Biasanya, sebelum menyeduh kopi, para tamu di ajak ke dapur. Di sana sudah ada dua bengahan (tungku) besar, lengkap dengan kayu dan gerabah. Setelah panas gerabah dinilai cukup (suhunya 250?300 derajat Celsius), Iwan menuang setengah kilogram biji kopi. 

Dia mempersilakan para tamu mencoba menyangrai. Sesi itu sangat disukai para tamu asing. Tak pelak, mereka langsung mengabadikannya dalam kamera maupun handycam. Selesai dari dapur, giliran menggiling atau memblender kopi yang sudah disangrai. Setelah itu, Iwan menuangkan kopi ke beberapa cangkir kopi. Lalu, mengajarkan cara menyeduh kopi yang benar.

Sebelum meminum, hidung harus didekatkan pada bibir cangkir. Setelah aroma kopinya merasuk ke hidung, baru diseruput. "Harus sampai bunyi sruuuut. Sebelum ditelan, tahan dulu di mulut sampai rasanya menempel di lidah," papar Iwan. 

Dia merasa tidak bersalah telah membuka rahasia tentang kopi. Yang justru dia rasakan adalah kepuasan. Sebab, dirinya telah mengedukasi banyak tamu tentang memproses dan menikmati kopi yang benar. Iwan merasa yakin, penularan keahliannya tentang kopi akan bisa menambah saudara sebanyak-banyaknya. Seperti slogannya yang terus dia kampanyekan: sekali seduh, kita bersaudara. 

Iwan sama sekali tidak berkeberatan slogan tersebut dipakai Pemkab Banyuwangi untuk mengukuhkan Banyuwangi sebagai daerah tujuan wisata kuliner minum kopi di Indonesia. Pengukuhan itu dilakukan Sabtu lalu yang ditandai dengan lomba Sangrai Kopi Massal yang melibatkan 270 peserta. 

Iwan tercatat sebagai salah seorang penggagas acara yang tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (Muri) itu. Sebelum mengikuti festival, para peserta diajari cara yang benar menyangrai kopi oleh Iwan. Hal yang sama akan terus dilakukan terhadap para tamu yang bertandang ke sanggarnya. 

Sudah tidak terhitung tamu Iwan. Tidak hanya dari Indonesia, tapi juga dari berbagai negara. Khusus tamu dari dalam negeri berasal dari kalangan ahli kopi, penikmat kopi, hingga pejabat tinggi. Maklum, muspida Banyuwangi selalu mengajak para tamunya bersantai sambil menyeruput kopi di sanggar Iwan. Terakhir, sekitar sebulan lalu, tercatat Pangdam V Brawijaya Mayjen TNI Gatot Nurmantyo yang baru saja mengakhiri tugasnya di Jatim menyempatkan diri menikmati kopi suguhan Iwan. 

Sementara itu, tamu dari mancanegara terdiri atas wisatawan yang baru turun dari Kawah Ijen hingga beberapa owner pabrik kopi dari Jepang, Korea Selatan, serta Prancis. Bahkan, setelah melihat Iwan menyangrai kopi dengan gerabah dan ternyata rasanya sangat enak, seorang penulis spesial kopi dari AS, Kennit David, sampai membeli dua gerabah. Kareta takut pecah, gerabah itu tidak dia masukkan ke bagasi. Melainkan, dia pangku mulai Bandara Changi, Singapura. 

"Sampai di Amerika, dia telepon, katanya satu gerabah yang dipangkunya mulai Singapura pecah, hahaha...," ungkap pengelola perkebunan Kalibendo, Banyuwangi, yang kopi robustanya menjadi juarai pertama nasional dalam kontes kopi nasional di Jakarta pada 15?16 November lalu tersebut.(jpnn/c5/kum)

sumber :



Bersaudara Dalam Secangkir Kopi 

Beginilah cara Setiawan Subekti (55) menyambut tamunya: dia menyodorkan secangkir kopi racikannya sendiri dan aneka kesenian tradisi Banyuwangi. ”Silakan minum kopi sepuasnya. Yang jelas, sekali seduh, kita bersaudara,” katanya. 

Malam seolah datang lebih cepat di Desa Adat Using Kemiren, Banyuwangi, Jawa Timur. Jam baru menunjukkan pukul 18.30, tetapi langit telah hitam pekat. Di pinggir jalan desa, sebuah kompleks rumah besar memancarkan cahaya seperti jutaan kunang-kunang di kegelapan.

Dari rumah berpagar tinggi itu terdengar bunyi ketukan ritmis menyelip di antara desau angin. Ternyata suara itu bersumber dari lesung yang diketuk bergantian oleh sekelompok ibu paruh baya berkebaya hitam. Sekilas mereka seperti menumbuk padi. Namun, sesungguhnya mereka sedang memainkan musik lesung. 

Saat itu, ada beberapa warga adat dari sejumlah daerah di Indonesia yang sedang bertamu. Dari mereka, kami mengetahui, pemilik rumah itu adalah seorang laki-laki sederhana bernama Setiawan Subekti. Dia seorang pengusaha perkebunan kopi di Banyuwangi, yang juga juri kompetisi kopi tingkat dunia. 

Malam itu, Setiawan yang akrab disapa Iwan bercengkerama dengan sejumlah orang di beranda rumah sambil menikmati alunan gamelan Banyuwangi yang dimainkan secara langsung oleh empat seniman. Sesekali Iwan beranjak dari tempat duduknya untuk menyapa tetamu dan membuatkan kopi. Di antara mereka ada penyanyi jazz dan penikmat kopi, Syaharani. 

”Saya senang membuatkan kopi untuk orang lain,” ujar Iwan sambil menyodori kami dua cangkir kopi luwak sebagai tanda perkenalan. ”Setelah mencicipi kopi ini, tolong ceritakan rasanya,” pesan Iwan, Jumat (16/11), sambil mengingatkan bahwa orang Banyuwangi menyebut kopi dengan istilah kopai.

Ketika kami menyesap kopai yang jejaknya begitu halus di lidah, suguhan tarian gandrung disodorkan. Sejumlah orang yang bertamu ke rumah Iwan pun melebur dalam sensasi aroma kopi luwak, pesona gandrung, dan suasana desa yang tenang. 

Ratusan tahun

Kami bertandang lagi ke rumah Iwan Senin (19/11) sore. Siang membuat keseluruhan rumah itu lebih jelas. Rumah Iwan terdiri atas sembilan rumah khas orang Using berbahan kayu bendo dan tanjang. Sekadar catatan, Using adalah subkultur terbesar yang hidup di Banyuwangi.

Setiap rumah memiliki fungsi berbeda. Ada yang dibuat sebagai gudang penyimpan kopi, tempat istirahat, tempat makan, dan tempat pertunjukan. Satu rumah dirancang seperti kedai kopi, lengkap dengan meja bar tempat Iwan menyeduh kopi untuk tetamunya. Di atas meja terdapat aneka alat untuk memproses biji kopi menjadi secangkir kopi yang nikmat dan beberapa penggiling kopi. Di belakang meja bar terdapat rak kayu berisi aneka cangkir dan alat untuk menyajikan kopi.

Sambil menyeduh kopi, Iwan bercerita, ”Ini semua rumah tua. Rata-rata telah diwariskan hingga generasi ketiga. Rumah yang paling besar sudah berumur 100 tahun ketika saya beli.”

Rumah-rumah kayu itu merupakan hasil perburuan Iwan selama 15 tahun di dusun-dusun di Desa Kemiren. Dia terdorong mengoleksi lantaran melihat turis asing rebutan membeli rumah Using untuk diambil kayunya sebagai bahan mebel. ”Kan, sayang banget, padahal itu warisan orang Using. Daripada habis diborong orang asing, lebih baik saya selamatkan,” kata Iwan.

Selain rumah, Iwan juga mengumpulkan aneka peralatan orang Using, mulai lesung, lemari, gebyok, mebel, alat pertanian, alat pengusir burung, hingga menara untuk memainkan angklung paglak. Menara dari bambu setinggi lebih kurang 15 meter itu dibangun di halaman depan. Sore itu, seniman Haidi Bing Slamet (31) memainkan angklung yang suaranya lamat-lamat ditelan angin.

Setelah koleksinya cukup banyak, Iwan merakit dan membangun kembali rumah Using di lahan seluas 4.000 meter persegi di Desa Kemiren. ”Semua rumah yang saya beli di Kemiren saya bangun lagi di Kemiren. Tidak ada yang saya bawa ke luar,” katanya.

Kini, rumah milik Iwan menjadi seperti museum Using di tengah desa adat Using. Rumah itu juga menjadi salah satu pusat kegiatan seniman Using. Mereka nongkrong, kadang latihan, dan tampil di depan tamu yang datang ke rumah itu.

Iwan sendiri tidak menetap di rumah itu, tetapi setiap hari sedapat mungkin ia kunjungi. ”Pulang dari kebun (kopi) sekitar pukul 15.00, saya mampir ke sini. Sore saya pulang ke rumah. Malam mulai pukul 20.00 saya nongkrong lagi di sini, kadang sampai pukul 02.00. Istri sudah bosan protes,” tutur Iwan, yang rumah tinggalnya sekitar 3 kilometer dari Desa Kemiren.

Rumah itu, lanjut Iwan, dijuluki sebagai tempat tetirah orang Using Kemiren. ”Kami nongkrong dan ngobrol seenaknya sambil menyeruput kopi. Orang waras masuk ke sini jadi gila, orang gila jadi waras. Orang sakit jadi sembuh, orang sehat jadi sakit, ha-ha-ha,” ujarnya.

Semua tamu yang datang ke rumah itu, tidak peduli pangkat dan jabatannya, lanjut Iwan, diperlakukan sebagai sahabat. ”Silakan nongkrong dan nikmati kopi sepuasnya. Sekali seduh (kopi), kita bersaudara,” kata Iwan. Slrrrp... aaah...!

sumber :

0 comments:

Posting Komentar